Pengaruh Akulturasi Keanekaragaman Budaya di Indonesia Terhadap Ajaran Agama Islam


Oleh : Pitradi, Mahasiswa Semester VI Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Daerah (PBSD) STKIP Muhammadiyah Kuningan

KUNINGAN, UPMKnews — Indonesia adalah Negara Kesatuan yang berasaskan Pancasila sebagai ideologi Negara, dalam Pancasila terdapat lima sila yang menjadi dasar Negara yang salah satunya sila pertama adalah Taqwa Kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sila pertama ini menjelaskan bahwa warga negara Indonesia harus ber-Tuhan atau mempercayai adanya Tuhan, karena sejatinya manusia hanyalah mahkluk biasa dan tidak sempurna, jika tidak adanya Tuhan maka manusia beserta alam dunia ini tidak akan ada, karena Tuhanlah yang menciptakan segalanya, jika manusia hidup tanpa Tuhan atau tidak mempercayai ajaran agama bagaikan hidup tanpa aturan.

Di Indoneisa sendiri banyak sekali Agama yang dianut Oleh masyarakat diberbagai wilayah, karena masyarakat memiliki hak pribadi untuk memilih atau menganut ajaran Agama sesuai kepercayaannya masing-masing. Tentunya agama yang harus dipilih atau dianut oleh masyarakat adalah agama yang diakui oleh Negara sesuai Peraturan, diantaranya ada lima agama yang diaku yaitu agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Budha.

Sebelum datangnya agama di Nusantara (sekarang Negara Kesatuan Republik Indonesia) para masyarat dahulu memiliki suatu kepercayaan dinanisme dan animisme. Masyarakat dahulu lebih erat dengan suatu peraturan adat yang menjadi suatu kebudayaan dan ciri khas disuatu lingkungan masyarakat tersebut. Bisa diketahui juga kelompok masyarakat tersebut sering disebut Suku, dan di Indonesia sendiri banyak terdapat Suku diberbagai wilayah ditiap pulau seperti suku sunda, baduy, bugis, Madura, jawa dan lain-lain. Setiap Suku di Nusantara memiliki berbagai keanekaragaman budaya yang berbeda-beda.

Dalam ajaran agama Islam yang diajarkan oleh Rasullullah Tuhan adalah Allah SWT yang menciptakan langit dan bumi (Qs. Al-A’raf 7:54) dan pedoman hidup umat muslim adalah Al-Qur’an, Hadist dan Ijtma (keputusan para Ulama) yang mengajarkan dan menjelaskan tentang tauhid, aqidah, akhlak dan syariat.

Pembahasan dalam artikel ini berkenaan tentang syariat, menurut (KBBI) syariat adalah hukum agama yang menetapkan peraturan hidup manusia, hubungan manusia dengan Allah SWT, hubungan manusia dengan manusia dan alam sekitar berdasarkan Al-Qur’an dan Hadist. Dapat diartikan syariat adalah suatu aturan hukum tata cara tentang peribadatan kepada Allah SWT yang berpatok pada Al-Qur’an dan Hadist.

Kembali ke Indonesia yang dimana masyarakatnya mayoritas beragama Islam dari berbagai Wilayah, suku dan bangsa. Ini menjadi pembahasan dalam jurnal yang dimana keanekaragaman budaya disetiap suku dan bangsa di Indonesia sering dipadukan atau dikoloborasikan dalam konteks peribadatan, hal ini bisa disebut juga akulturasi budaya.

Pengertian Akulturasi menurut Dedi Mulyadi (2016: 162) adalah proses sosial yang timbul, apabila suatu kelompok masyarakat manusia dengan sesuatu kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur-unsur kebudayaan asing itu diterima dan diolah ke dalam kebudayaan sendiri, tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian dari kebudayaan itu sendiri. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), akulturasi adalah percampuran dua kebudayaan atau lebih yang saling bertemu dan saling memengaruhi.

Budaya dikaitkan dengan bagian dari budi dan akal manusia. Budaya merupakan pola atau cara hidup yang terus berkembang oleh sekelompok orang dan diturunkan pada generasi berikutnya. Beberapa ahli telah mendefinisikan arti budaya menurut pemahaman dan ilmu mereka masing-masing.

Makna Syariat menurut bahasa (KBBI) syariat adalah hukum agama yang menetapkan peraturan hidup manusia, hubungan manusia dengan Allah SWT, hubungan manusia dengan manusia dan alam sekitar berdasarkan Al-Qur’an dan Hadist.

Akulturasi Keanekaragaman budaya dan syariat agama Islam di Indonesia

Munculnya akulturasi budaya yang berkaitan erat dengan ajaran agama islam berasal  dari ajaran para wali, para wali tersebut dikategorikan dalam tiga kategori :

  1. Waliyullah, orang-orang yang dekat dengan Allah dan terpelihara dari perbuatan maksiat;
  2. Waliyullah amri, orang-orang yang memegang kekuasaan atas hukum kaum muslimin, memimpin rakyat, menentukan dan memutuskan urusan umat, baik dibidang keduniawian maupun peribadatan.
  3. Wali yang memegang kedua-duanya; dalam arti, selain sebagai waliyulla, sekaligus juga sebagai waliyullah amri (Sofwan, dkk., 2000: 14)

Pandanagan hidup dan tradisi budaya masyarakat erat kaitannya dengan dakwah Islam dan tradisi jawa kuno zaman wali yang diwarisi dari para tokoh spiritual Cirebon dan mubaligh wali sanga: Ki Kuwu Cirebon, Sunan Gunung Jati dan Sunan Kalijaga. Sedangkan tradisi budaya mereka bercirikan Jawa Cerbonan yang merupakan akulturasi budaya Jawa – Hindu – Islam dengan pusatnya keraton Pakungwati, Cirebon. Sehingga pemahaman agama dan tradisi budaya oleh masyarakat Cirebon tergambar bagaikan dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan, disatu sisi mereka tetap teguh dalam keyakinan agama Islam yang dianut mereka, disisi lain mereka juga setia mempertahankan tradisi budaya Cerbonan mereka yang khas.

Tradisi budaya Cirebon yang tetap dilestarikan terungkap dalam upacara tradisional panjang jimat dan grebeg yang dilakukan oleh kerabat keraton Cirebon, maupun dalam berbagai upacara tradisional yang dilakukan masyarakat Cirebon yang berkaitan dengan perayaan hari besar Islam seperti riaya (lebaran), punggahan, muludan, dan sawalan. Tradisi budaya tersebut juga dilestarikan dalam upacara tradisional yang berkaitan dengan siklus pertanian dan perikanan seperti sedekah bumi (mapag sri dan bebarik atawa baritan), sedekah laut (nadran), ngarot, jaringan dan seren taun, dalam upacara ‘penyucian diri” seperti sedekah tamba (ruwatan), tirakatan, nyepi (berkhalwat di tempat sunyi), kliwonan (tirakatan di Gunung Jati pada hari jum’at Kliwon) dan ngirab (mandi “bersuci” di Kalijaga pada hari rebo wekasan bulan ruwah), serta dalam berbagai upacara yang berkaitan dengan kehidupan manusia seperti upacara perkawinan (hajat walimah), ngunduh mantu, mitoni atau nebus weteng (upacara tujuh bulan kandungan), jagongan bayi (muyen), njenengi, kekah (aqikah), mudun lemah, cukuran dan sunatan. Maupun upacara yang berhubungan dengan kematian (surtanah : pemberian shalawat dan tahlilan setelah jenazah disembayangkan.

Upaya memadukan tradisi budaya Jawa -Hindu-Islam dilakukan oleh para mubaligh yang tergabung dalam Wali Sanga dan kemudian dilembagakan dan diterapkan kepada masyarakat Jawa dan Madura pada masa Pemerintahan Sultan Agung dari Mataram serta diterima sepenuhnya oleh masyarakat Cirebon pada masa pemerintahan Panembahan Ratu dengan penyesuaian kecil disana sini. Puji-pujian syahadatain  diganti dengan gamelan sekaten.

Istilah Salat diganti sembahyang yang berasal dari kosa kata anembah Hyang (memuja Tuhan), dan saum diganti puasa yang berasal dari kosa kata Sansekerta upuwasa yang artinya “menguji kekuatan pribadi”. Para pelajar yang berguru di pondok pengajaran agama Islam disebut santri yang berasal dari bahasa Sansekerta shastri yang artinya siswa (bahasa Arabnya al murid).

Suatu hal yang paradoks , bila istilah Sansekerta santri digunakan untuk merujuk siswa lembaga pendidikan Islam, maka istilah Arab murid dipakai untuk siswa pendidikan umum.Perkembangan budaya Islam tidak menggantikan atau memusnahkan kebudayaan yang sudah ada di Indonesia. Karena kebudayaan yang berkembang di nusantara sudah begitu kuat di lingkungan masyarakat. Sehingga terjadi akulturasi antara kebudayaan Islam dengan kebudayaan yang sudah ada.

Hasil proses akulturasi antara kebudayaan masa pra-Islam dengan masa Islam masuk berbentuk fisik kebendaan (seni bangunan, seni ukir atau pahat dan karya sastra) serta pola hidup dan kebudayaan non fisik. Bentuk lain akulturasi kebudayaan pra-Islam dan kebudayaan Islam adalah upacara kelahiran, perkawinan, kematian, selamatan pada waktu tertentu berbentuk kenduri pada masyarakat Jawa.

Seperti halnya Sunan Kalijaga yang merupakan wali sanga pribumi asli tanah jawa yang menjadi wali Allah yang menerapkan akulturasi budaya dalam penyampaian dakwah nya kepada masyarakat dengan contohnya dalam berpakaian Sunan Kalijaga mengenakan baju adat budaya setempat berbeda dengan para wali yang lain yang mengenakan jubah dan sorban. Dalam dakwah nya juga Sunan Kalijaga menggunakan media budaya sebagai sarana untuk menarik masyarakat seperti seni budaya pagelaran wayang, gamelan, kuda lumping dan lain-lain.

Pengaruh Akulturasi budaya tersebut terhadap agama Islam

Kehidupan yang dijumpai dalam suatu masyarakat, tidak terlepas dari kebiasaan masyarakat itu sendiri. Keadaan ini kita sebut adat istiadat. Namun, sebagai umat muslim harus pandai membedakan adat istiadat. Apakah adat istiadat itu sesuai atau tidak dengan syariat Islam ? kalau adat istiadat tersebut tidak bertentangan dengan syariat islam, maka diperbolehkan. Akan tetapi, kalo bertentangan dengan syariat Islam, maka harus dijauhi sekalipun sudah melekat di masyarakat.

Di antara yang dianggap adat istiadat yang paling populer dan tetap hidup dalam masyarakat Islam terkhusus di Indonesia, adalah ziarah kubur dan ngaji kubur. Masalah ini perlu dikaji ulang jangan sampai terjerumus ke dalam kemusyrikan dan kesesatan. Ziarah kubur ini merupakan suatu tradisi yang sangat melekat di masyarakat. Sehingga, tidak heran rombongan peziarah setiap waktu selalu ramai, khususnya di makam para wali.

Supaya adat ini menjadi baik dan bermanfaat, maka sudah semestinya diberikan penerangan dan penjelasan, mengenai ziarah kubur yang sebenarnya. Karena banyak terjadi, justru menjerumuskan kepada kemusyrikan dan kesesatan. Kebanyakan para kuncen (juru kunci – penjaga kubur) menganjurkan kepada para peziarah (orang yang berziarah) untuk minta kepada ahli kubur yang dianggap keramat. Padahal jelas-jelas perbuatan seperti ini, termasuk syirik yang dilarang oleh agama Islam.

Di sini ada beberapa kepentingan, kuncen (juru kunci) ingin hidup layak tanpa mau kerja keras dan penziarah ingin keberkahan tanpa mau susah payah. Dan selalu dibohongi oleh para kuncen karena diyakini, doanya dikabulkan sehingga semakin yakin, yang akhirnya disarankan oleh kuncen, kalau berhasil nanti motong kambing dan sebagainya.Di Indonesia banyak berbagai Organisasi Islam seperti Muhammadiyah, Nahdatlu Ulama, Persis dan lain-lain. Dari berbagai organisasi tersebut ada sebagian yang menerima Akulturasi budaya dengan ajaran Islam, ada pula yang tidak diterima dengan beberapa alasan sesuai pemahamannya.

Kita ambil contoh dari Tahlilan yang dimana akulturasi budaya yang berkaitan erat dengan ajaran agama islam berasal  dari ajaran para wali. Terkhusus Organisasi Islam Muhammadiyah tidak mengamalkan ajaran tersebut, karena majelis Tarjh dan Tasdid Muhammadiyah telah menetapkan untuk tidak melaksankan amalan tersebut dengan alasan bahwasannya muhammadiyah tidak melarang Tahlilan bahkan menganjurkan agar memperbanyak membacanya jika yang dimaksud Tahlil adalah membaca “La Ilaha Illahllah” (Tiada Tuhan selain Allah).

Membaca tahlil adalah termasuk amal ibadah yang sangat baik, sehingga mereka yang memperbanyak tahlil dijamin masuk surga dan haram masuk neraka. Tentulah tidak hanya cukup mengucapkannya, atau melafalkannya saja, melainkan harus menghadirkan hati ketika membacanya, dan merealisasikannya dalam kehidupan keseharian. Yaitu dengan memperbanyak amal shalih dan meninggalkan segala macam syirik, baik syirik besar maupun syirik kecil, yang dalam istilah Muhammadiyah meninggalkan TBC : takhayyul, bid’ah dan khurafat.

  1. Takhayyul adalah mempercayai adanya khayalan datangnya bala atau musibah yang dibawa oleh mahkluk Allah, seperti burung, kucing, ular dan sebagainya.
  2. Bid’ah adalah melakukan ibadah yang tidak pernah diajarkan dan tidak pernah diamalkan oleh Rasulullah ﷺ atau oleh para shabatnya.
  3. Khurafat adalah mempercayai kisah-kisah yang batil, seperti kisah Nyi Roro Kidul, yang katanya membawa manfaat dan madharat, sehingga harus diberi sesaji, padahal laut adalah mahkluk Allah yang tidak dapat membuat manfaat dan mudharat.

Jika masih berbuat syirik, dan tidak beramal shalih, sekalipun membaca tahlil ribuan kali, tidak ada manfaatnya. Maka yang sangat penting sebenarnya adalah bahwa tahlil itu harus benar – benar diyakini dan diamalkan dengan berbuat amal shalih sebanyak-banyaknya.

Maka yang dilarang menurut Muhammadiyah adalah upacaranya yang dikaitkan dengan tujuh hari kematian, atau empat puluh hari atawa seratus hari dan sebagainnya, seagaimana dilakukan oleh pemeluk agama Hindu. Apalagi harus mengeluarkan biaya besar, yang terkadang harus pinjam kepada tetangga atau saudaranya, sehingga terkesan tabzir (berbuat mubadzir).

Pada masa Rasulullah ﷺ pun perbuatan semacam itu dilarang. Pernah beberapa muslim yang berasal yahudi, yaitu Abdullah bin Salam dan kawan-kawannya, minta izin kepada Nabil ﷺ untuk memperingati dan beribadah pada hari Sabtu, sebagaimana dilakukan mereka ketika masih beragama yahudi, tetapi Nabi ﷺ tidak memberikan izin, dan kemudian turunlah Firman Allah SWT, yang artinya “hai orang-orang yang beriman masuklah kamu kedalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu” (Qs. Al-Baqarah 2: 208).

Contoh-contoh diatas seharusnya diubah dan diluruskan sesuai dengan syariat Islam yang sebenarnya. Jangan sampai Umat Islam terperosok ke jurang kesesatan dan kehinaan, karena perbuatan yang diada-adakan dengan dalil bahwa ini adalah ajaran Islam. Padahal, Syariat Islam tidak mengajarkan yang demikian. Yang diajarkan Islam adalah semata-mata untuk keselamatan hidup masyarakat. (**)


Bagikan Berita Ini

Facebook Twitter Whatsapp