Perlukah Calon Sarjana Berwawasan Kerakyatan?


Kuningan, UPMKNews -- Banyak Perguruan Tinggi di indonesia benar-benar merasa bahwa mereka telah mengerjakan karya yang baik, padahal masih ada yang belum maksimal salah satunya emansipatoris. Dalam buku Otokritik Pendidikan, Agustinus Rahmat Widiyanto, menyatakan bahwa “banyak Perguruan Tinggi di Indonesia dewasa ini terlalu mementingkan persoalan kompetensi dibandingkan kesedihan membela nasib orang lain atau emansipatoris”. Jadi, dengan perguruan tinggi seperti itu hanya akan menghasilkan sarjana atau lulusan yang "Kering". Bahkan menghasilkan orang kaya baru yang minim kepekaan terhadap sosial masyarakat. Bung Hatta pernah berharap pada masa hidupnya, yaitu agar sarjana Indonesia menjadi sarjana yang berkarakter. Menjadi sarjana selain memiliki visi kebenaran Ilmiah, sekaligus harus peka terhadap kehidupan masyarakat. Dengan kata lain saat ini dan saat yang akan datang, sangat membutuhkan sosok sarjana yang berwawasan peduli terhadap persoalan kerakyatan.

 

Atas dasar apa seorang sarjana harus memiliki wawasan yang peduli terhadap kerakyatan?

Sekiranya kita berfikir general, impian memiliki sarjana yang berwawasan peduli terhadap masyarakat merupakan wujud dari "Kekerasan Sosial". Keresahan itu timbul akibat dipaksakan Paradigma Ekonomik, kemudian masuk kedalam karakter sarjana yang hendak dibentuk di Perguruan Tinggi. Hal ini tentu dapat kita dimengerti karena para calon sarjana tidak memilih jadi manusia yang cerdas, jujur, terampil namun masih tetap melarat setelah menjadi sarjana. Melainkan sebaliknya, ingin menjadi manusia cerdas, jujur, terampil namun tetap berkecukupan setelah menjadi sarjana. Justru dengan penekanan demikian tanpa disadari atau tidak disadari menjadi jebakan kita sebagai seorang calon sarjana menempatkan "Kewajiban" Perguruan Tinggi menjadi wahana untuk mencari lowongan pekerjaan yang layak, bahkan menjadi wahana pencetak tenaga kerja yang berlebihan.

Alhasil bukan kemandirian yang tercetak melainkan ketergantungan. Celakanya ketergantungan itu bernama “Lapangan Kerja”, sesuatu yang nyaris belum jadi muatan sungguh-sungguh dalam perguruan tinggi. Perguruan tinggi lebih bergairah mendidik calon sarjana jadi intelektual. Pandai berbicara tapi tak mampu kerja. Inilah gejala dimana calon sarjana menjadi “Orang yang menangani segala macam bidang”, pada akhirnya menjadikan “Orang yang nyaris tak menguasai apapun”. Didesak oleh posisi semacam itu, dengan sendirinya seorang sarjana akan bersikap individual.

 

Untuk apa memikirkan nasib orang lain, kalo nasib sendiri tidak menentu ?

Sekarang yang perlu dipikirkan adalah bagaimana agar mengubah perilaku calon sarjana dari merasa bergantung menjadi bisa mandiri. Dan kita pasti sepakat, bahwa kemandirian tidak berdiri sendiri sebagai konsep psikologis. Tetapi juga terkait dengan masukan instrumental lain seperti struktur kurikulum, teladan kepemimpinan, sistem organisasi, ragam fasilitas, kemampuan tenaga pengajar dan sistem pendidikan di Perguruan Tinggi.

Sekiranya pengenalan medan melalui Asistensi Mengajar, KKN (Kuliah Kerja Nyata), dan sebagainya dirasa gagal. Mulai dari pembentukan keterampilan melalui kurikulum inti, dan kinerja perguruan tinggi dirasa kurang mendidik para calon sarjana, bahkan organisasi juga masih belum maksimal dalam pembentukan karakter, maka ada baiknya kita mawas diri. Dalam artian bersedia melakukan perubahan. Tugas melakukan perubahan tentu saja bukan menjadi tugas Perguruan Tinggi melainkan menjadi tugas Jurusan. Karena peran sentral jurusan dilandasi fakta calon sarjana belajar dan mengembangkan potensinya lebih maksimal disana. Di unit pelaksana akademis perguruan tinggi itulah para ahli berkumpul, para calon sarjana digodok. Merekalah yang seharusnya merencanakan proses pembelajaran, sekaligus menyediakan kurikulum berwawasan kerakyatan. Jurusanlah yang harus memutuskan untuk menyesuaikan sistem pendidikan dan mengarahkannya pada tuntutan-tuntutan konsep kerakyatan, dengan memperhatikan faktor-faktor seperti politik, sosial, ekonomi dan lain sebagainya.

Penulis: Mustaid, Mahasiswa Aktif PGSD Semester 6

Editor: Deliya A.R 


Bagikan Berita Ini

Facebook Twitter Whatsapp